Ali Ibnu Ridwan: Astronom Muslim Legendaris Saksi Supernova 1006
SUKABUMIKINI.COM -- Kairo, 17 Sya'ban 396 H/ 30 April 1006. Seorang remaja terkagum-kagum saat menatap langit malam di tanah kelahirannya. Pria yang saat itu berusia 18 tahun tersebut dicatat sebagai salah seorang saksi sejarah peristiwa astronomi yang amat dahsyat di awal abad XI: Supernova. Sebuah peristiwa meledaknya suatu bintang di galaksi yang memancarkan energi sangat besar.
Cahaya ledakan bintang itu dapat disaksikan penduduk bumi yang terbentang dari daratan Eropa hingga ke Cina. Bintang yang mengalami supernova memang akan tampak sangat cemerlang -- mencapai ratusan juta kali cahaya bintang tersebut saat masih aktif. Supernova menandai berakhirnya riwayat sebuah bintang di galaksi.
Fenomena Supernova yang terjadi 10 abad silam itu hingga kini masih bisa dilihat para astronom – berupa awan yang mengembang dari letusan bintang. Pengalaman melihat cahaya ledakan bintang di galaksi itu begitu membekas dalam diri remaja asal Kairo itu. Saat fenomena astronomi yang langka itu terjadi, sebenarnya Ibnu Ridhwan baru saja kuliah di sekolah kedokteran.
Meski begitu, ia sudah memiliki hasrat untuk mempelajari astrologi. Pada masa itu, Mesir baru saja ditaklukan oleh Dinasti Fatimiyah. Dinasti yang saat itu dipimpin Khalifah Al-Hakim berpusat di kota Kairo. Sejak menyaksikan fenomena yang luar biasa itulah, remaja bernama Ali Ibnu Ridwan itu mencurahkan hidupnya untuk mempelajari astronomi dan astrologi.
Berkat ketekunan dan dedikasinya yang sangat tinggi, Ibnu Ridhwan kemudian menjelma menjadi seorang astronom besar dan kesohor di abad XI. Salah satu mahakarya yang dihasilkannya adalah merekam peristiwa-peristiwa astronomi penting selama hidupnya. Para astronom dan sejarawan di zaman modern mendapatkan informasi tentang Supernova 1006 dari buku yang ditulisnya.
Sejatinya, astronom dan astrolog yang sangat berpengaruh itu bernama lengkap Abu'l Hasan Ali Ibnu Ridhwan Al-Misri (998 – 1067). Para penulis di Barat menyebutnya dengan panggilan Haly atau Haly Abenrudian. Selain berprofesi astronom dan astrolog, Ibnu Ridhwan juga dikenal sebagai seorang dokter dan kritikus kedokteran Yunani terutama Galen.
Kritiknya atas karya-karya Galen – seorang tabib dari Yunani kuno – ditulis dalam buku berjudul Ars Parva. Buah karyanya itu kemudian diterjemahkan oleh Gherard of Cremona ke dalam bahasa Latin. Observasi yang dilakukannya terkait fenomena Supernova 1006 dituliskannya dalam Ptolemy's Tetrabiblos.
Dalam buku yang dituliskannya itu, Ibnu Ridhwan menyatakan bahwa cahaya yang ditimbulkan oleh fenomena Supernova 1006 itu tiga kali lebih besar dari Planet Venus. Karyanya begitu berpengaruh di peradaban Barat hingga abad ke-16 M. Karyanya yang lain diterjemahkan ke dalam bahasa Latin De revolutionibus nativitatum (The Revolutions of Nativities) oleh Luca Gaurico dan dicetak di Venicia tahun 1524.
Selain itu, karyanya yang lain Treatise on the Significations of Comets in the twelve Signs of the Zodiac juga dialihbahasakan ke dalam bahasa Latin bertajuk Tractatus de cometarum significationibus per xii signa zodiaci dicetak di Nurnberg tahun 1563. Itu berarti pemikiran Ibnu Ridhwan mampu bertahan hingga berabad-abad lamanya.
Setahun sebelum fenomena Supernova 'mengguncang' dunia, Khalifah Al-Hakim pada tahun 1005 mulai mendirikan Dar al-‘Ilm (Rumah Pengetahuan) di Kairo. Ini merupakan universitas umum yang informal, sehingga siapa saja bisa datang untuk membaca, menyalin buku, belajar atau ikut pekuliahan berbagai bidang studi. Di tempat itu diajarkan teologi, tata bahasa, filologi, kedokteran dan astronomi.
Dalam otobiografi yang ditulisnya, Ibnu Ridhwan mengisahkan perjalanan hidup masa kecilnya. Saat masih kanak-kanak, ia menikmati pendidikan dasarnya di masjid sekitar rumahnya. Di tempat itu, dia mulai belajar membaca dan menulis serta menghafal Alquran. Memasuki usia 15 tahun, Ibnu Ridwan memilih untuk bejar ilmu kedokteran dan filsafat. “Saya kurang beruntung,” cetusnya. Ia mengaku harus membiayai pendidikannya dengan keringat sendiri.
“Studi saya menjadi terhambat oleh berbagai halangan dan kesulitan,” tutur Ibnu Ridhwan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Ibnu Ridhwan mengaku harus menjalankan praktik astrologi. Terkadang dia juga mempraktikkan ilmu kedokterannya. “Kemudian saya juga mengajar.” (***)